Hari ini, Anda pengunjung ke : 23
Dari total pengunjung : 563244
|
|
|
|
|
MENYELAMATKAN UKM INDONESIA
UKM sebagai roda perekonomian kecil, penopang lapangan kerja, dan merupakan sarangnya para pengusaha muda, harus segera diselamatkan dari efek buruk ACFTA.
Pelaku pasar di sektor usaha kecil memahami betul risiko dan dampak dari perdagangan bebas ini. Sekitar 1.000 pelaku usaha kecil dan menengah yang tergabung dalam komunitas UMKM DI Yogyakarta mendatangi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DIY, Senin (11/1/2010). Mereka mendesak DPRD, DPR, dan pemerintah pusat melindungi produk-produk UMKM yang terancam oleh produk dari Cina, seperti batik, tekstil, kerajinan, jamu dan lainnya. Para petani di bagian Indonesia timur juga mengeluh dan mengkawatirkan dampak matinya produk beras mereka. (Antara, 11/1/2010). Menurut Ulung Koeshendratmoko, masih banyak lagi kenyataan yang menunjukkan bahwa perdagangan bebas secara liar justru akan menjerumuskan rakyat ke dalam jurang kemiskinan dan menjadikan rakyat hanya sebatas konsumen bahkan jongos.
Menurut pria yang bekerja sebagai dosen FE Unisri Surakarta ini, pasar bebas adalah suatu hal wajar dalam sistem kapitalis. Menanggapi itu, rupanya sektor UMKM Indonesia dirasa belum mampu bertarung dengan Cina. Melihat belum siapnya industri UMKM maka pemberlakuan ACFTA bisa bertahap dan diperuntukan bagi industri yang yang benar-benar sudah siap.
Kenyataan ini tak berarti kiamat bagi industri domestik. Pelaku usaha Indonesia bisa melakukan konsolidasi dengan perusahaan-perusahaan yang berinvestasi di Cina untuk meningkatkan daya saingnya.
Kinerja UKM tidak sekondusif usaha besar dalam beberapa aspek, antara lain daya saing produk, produktivitas, dan pendataan. “Hal ini dipicu karena UKM secara umum masih menghadapi kendala internal: minimnya sistem teknologi, rendahnya kualitas sumber daya manusia, rendahnya kemampuan akses, serta manajerial skill, dan kurangnya jiwa kewirausahaan,” ungkap ayah yang merangkap sebagai Ketua Asosiasi Konsultan Keuangan Mitra Bank Solo Raya.
Kondisi ini dipicu oleh rendahnya kemampuan iptek nasional dan kontribusi teknologi nasional di sektor produksi. Dengan kondisi seperti ini maka UKM di Indonesia secara umum saat ini belum mampu bersaing dengan produk Cina untuk beberapa sektor.
Solusi Pengembangan UKM di Indonesia untuk menghadapi ACFTA
Menurut Ulung, unsur-unsur utama yang terkait dalam memajukan para pelaku UKM adalah pemerintah, Institusi keuangan dan institusi pendidikan. Dalam hal ini pemerintah berfungsi sebagai regulator, fasilitator, motivator, stimulator dan pemungut pajak. Kemudian, Institusi Keuangan (modal ventura, bank konvensional, bank syariah, BPR dll) berfungsi sebagai lembaga intermediasi sumber permodalan seharusnya lebih prioritaskan modal untuk UKM dengan menggunakan aturan yang fleksibel.
Di samping itu institusi pendidikan juga perlu menyoroti masalah UKM. Institusi ini fungsinya memberikan pelatihan, seminar, ceramah kepada pelaku-pelaku UKM, supaya tercipta pelaku usaha yang berwawasan bisnis yang baik. Tidak ketinggalan lembaga swadaya masyarakat (LSM) juga harus mampu memberikan bantuan pengembangan usaha.
Sinergi di atas harus segera dilaksanakan agar keterpurukan ini tidak semakin akut. Dalam kondisi UKM daerah seperti ini, tentu keberadaan ACFTA akan berpengaruh serius bagi perkembangan UKM yang kembang kempis. Sektor usaha UKM akan dilindas, dan tentunya pemiskinan akan terus terjadi.
(aryo)
|
|
|
|