Hari ini, Anda pengunjung ke : 24
Dari total pengunjung : 563245
|
|
|
|
|
Menjual Pukis Sejak Sekolah Dasar
Menjual pukis sejak duduk di bangku sekolah dasar (SD). Sampai usia dewasa, menikah dan punya anak, masih menjual pukis. Usaha ini milik tetangganya di kampung halaman, Jawa Tengah. Sampai saat ini, dia pun masih menjadi pegawainya. Dia digaji di bawah Rp2 juta sebulan dan mendapatkan uang makan Rp60 ribu sehari. Kalau dagangan sedang ramai, sehari bisa mendapatkan omzet Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Uang itu disetor kepada bosnya.
| Sebut saja Taufik namanya. Sejak kecil ikut tetangga menjajakan kue pukis. Tahun 1982, dia masih kecil dan sangat senang mendapatkan uang berapa pun dari pemberian “bosnya”. Kemanapun diperintahkan bosnnya dia menjalankan untuk menjual pukis. Dia juga tinggal di rumah bossnya.
Kemudian merantau ke Surabaya, Jawa Timur. Usahanya tetap pukis bossnya. Beberapa tahun kemudian ke Bandung dengan usaha yang sama. Lalu, ke Jakarta Utara, tepatnya di Pasar Sukapura, Koja. Dari situ dipindahkan bosnya ke depan Giant, Jalan Kampung Sawah, Pondok Melati, Bekasi.
Perpindahan ini disebut oleh Taufik, “Aplus.” Maksudnya, bergantian atau bergiliran menjual di satu tempat, kemudian dipindahkan ke tempat lainnya.
Buka dari jam sembilan pagi hingga sembilan malam. Pulangnya dijemput sang boss. Tidur juga di rumah bossnya, di kawasan Depok, Jawa Barat.
Di depan pintu masuk Giant, tampak lemari etalase bertuliskan Pukis Banyuwangi. Tempat itu disewa Rp2 juta per bulan. Pelanggan Giant biasanya memesan lebih dahulu, setelah selesai belanja, dia mengambil pukis pesanannya. Keluarkan uang Rp10 ribu, dapat satu bungkus plastik berisi 5 pukis. Dengan begitu tidak banyak terlihat pembeli yang menunggu pesanannya.
“Lebih banyak yang memesan pukis coklat dan keju,” ujar Taufik. Sehari mendapatkan omzet Rp800 ribu sampai Rp1 juta. Modalnya? “Tergantung berapa kilogram adonan yang dibawa. Kalau 4 kg, modalnya sekitar Rp400 ribu,” jelasnya.
Melihat perjalanannya menjual pukis puluhan tahun, sudah patut Taufik memiliki usaha sendiri, bukan ikut boss. Dia sendiri paham betul rasa pukis yang disukai pelanggannya. Tetapi mengapa tidak memiliki usaha sendiri? “Tidak punya modal. Saya tidak mampu. Uang sehari-hari yang didapat sudah habis untuk kebutuhan hidup sehari hari dengan anak dan istri,” ujarnya tanpa ekspresi.
Menurutnya, dia butuh modal Rp5 juta rupiah. Uang itu untuk membeli seluruh perlengkapan dagang, bahan baku, dan sewa tempat tinggal atau rumah kontrakan. Uang itu juga untuk sewa tempat berdagang.
Karena tidak memiliki modal, dia tetap menjadi pedagang pukis milik boss, dan tinggal di rumah bossnya. “Sejak SD ikut tetangga jual pukis. Itu sekitar tahun 1982. Sampai sekarang masih begini saja, ikut orang terus,” ungkapnya.
(lala)
|
|
|
|